Haji Abdul Malik Karim Amrullah, karib disapa Buya Hamka.
Kalam suci Ilahi, dengan tekun, ia ulang hafalannya. Mengeja ayat demi ayat.
Merenungkan satu per satu maknanya, hingga khatam, seluruhnya tergenapi. Ada
haru membiru. Ada tangis berlapis senyum bahagia, di sana. Allah terasa begitu
dekat.
Seperti Ibnu Taimiyyah dulu kala. Berteman secarik kertas,
berikut tinta dan pena. Tempat menorehkan tulisan hasil perenunangan.
Berjilid-jilid karya keluar dari balik jeruji. Orang-orang berdatangan, meminta
fatwa. Dari balik jeruji besi itu, dalam gelap ia menjawab. Jadilah
berjilid-jilid Majmu Fatawa di sana. Tak ada rasa takut sama sekali. Bahwa
penjara baginya, adalah surga.
Malam harinya diisi dengan berdiri, rukuk, sujud. Sungguh,
tak ada yang terpenjara di sana. Jiwanya merdeka. Tak ada yang terkekang di
sana. Tangannya lincah menulis pesan penuh makna. Alam pikirnya mengembara,
merenungi KemahaanNya.
Atau seperti laiknya sahabat seperjuangan di belahan bumi
lain, Mesir, Sayyid Quthb. Rezim tiran tak mampu membungkam alam pikirnya,
meski jasad terpenjara. Bertemankan lembaran kertas, juga pena. Lahirlah karya
monumental Tafsir Fii Dzilal Al Quran.
Buya Hamka, nyaris serupa. Tafsir Al Quran 30 Juz yang kelak
dinamakan Tafsir Al Azhar ia rampungkan, ditemani dinginnya jeruji besi, di
masa kepemimpinan Soekarno. Rezim berganti, orde lama berganti rezim yang
dinamai orde baru. Tak disangka, Buya Hamka bisa menghirup udara bebas.
Hamka dan Soekarno
Setelah bebas dari penjara, Hamka tak tahu kabar Soekarno,
penguasa yang memenjarakannya kala itu. Ingatannya melompat ke masa ke
belakang. Saat ia tanpa tedeng aling-aling mengritik pemerintahan yang akan
memaksakan penerapan sistem demokrasi terpimpin.
“..Trias Politica sudah kabur di Indonesia….Demokrasi
terpimpin adalah totaliterisme…Front Nasional adalah partai Negara…” teriak
Hamka menggema di Gedung Konstituante tahun 1959, ketika memajukan Islam
sebagai dasar Negara Indonesia dalam sidang perumusan dasar Negara. Tak lama,
Konstituante dibubarkan oleh Soekarno. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin
Indonesia), partai temapat bernaung Buya Hamka pun dibubarkan paksa. Para
pimpinannya ditangkap, dijebloskan ke balik jeruji.
Perbedaan pandangan politik Hamka yang dikenal Islamis,
dengan Soekarno yang seorang sekularis, kian menajam dengan penangkapan dan
pemenjaraan rival-rival politiknya. Meski begitu, tak ada sumpah serapah yang
keluar dari seorang Buya Hamka kepada sang pemimpin kala itu. Saat dijemput
paksa untuk langsung dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan, Hamka
hanya pasrah, bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla.
Pun setelah bebas, tak ada dendam di sana. Tak ada rasa
ingin membalas, menuntut, atau melakukan tindakan membela diri. Padahal, ketika
itu, buku-buku karangan Buya dilarang beredar oleh pemerintah. Tak ada rasa
kesal di sana. Tak ada mengeluh, atau umpatan. Semua ia serahkan kepada Allah,
sebaik-baik penolong.
Justru, demikian besar keinginan Hamka untuk bersua
Soekarno. Mengucap syukur, karenanya, ia bisa menyelesaikan Tafsir Al Azhar
dari balik penjara. Karenanya, ia bisa begitu dekat dengan Allah. Karenanya,
jalan hidupnya begitu indah, walau penuh ragam ujian.
Soekarno, dimanakah sekarang ia berada? Tak tahu..Begitu
rindu, Hamka ingin bertemu dengannya. Tak ada marah dari seorang Buya. Telah
lama..telah lama sekali, kalaupun Soekarno mengucap maaf, telah lama hatinya
membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Bahkan, ada syukur di sana.
Tapi dimana? Di mana Soekarno sekarang? Ingin sekali Buya
bertemu dengannya. Pertanyaannya terjawab, namun bukan jawaban biasa. 16 Juni
1970, Ajudan Soeharto, Mayjen Soeryo datang menemui Hamka di Kebayoran, membawa
secarik kertas. Sebuah pesan — bisa dibilang pesan terakhir — dari Soekarno.
Dipandangnya lamat-lamat kertas itu, lalu dibaca pelan-pelan.
“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi
imam shalat jenazahku.”
Mata begitu bening, seperti halnya kaca membaca tulisan ini.
Sebuah pesan, dari seorang mantan pucuk pimpinan negeri. Dimana? Dimana
Soekarno sekarang? Begitu rindu ingin bertemu dengannya. Mayjen Soeryo berkata,
“Ia..Bapak Soekarno telah wafat di RSPAD. Sekarang jenazahnya telah di bawa ke
Wisma Yoso.”
Mata ini semkin berkaca-kaca. Tak sempat..rindu ini
berbalas. Hamka hanya dapat bertemu dengan sosok yang jasadnya sudah terbujur
kaku. Ingin rasanya, air mata itu mengalir, namun dirinya harus tegar. Ia kecup
sang Proklamator, dengan doa, ia mohonkan ampun atas dosa-dosa sang mantan
penguasa, dosa orang yang memasukkannya ke penjara.
Kini, di hadapannya, terbujur jasad Soekarno. Sungguh,
kematian itu begitu dekat. Dengan takbir, ia mulai memimpin shalat jenazah.
Untuk memenuhi keinginan terakhir Soekarno. Mungkin, ini isyarat permohonan
maaf Soekarno pada Hamka. Isak tangis haru, terdengar di sekeliling.
Usai Shalat, selesai berdoa, ada yang bertanya pada sang
Buya,”Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya sekian lama
di penjara?”
Dengan lembut, sang Buya menjawab,” Hanya Allah yang
mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap
seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik.
Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti
saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya
merasa semua itu anugerah dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan Kitab Tafsir Al Quran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak
mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”
bangga mempunyai ulma yang karis matik seperti buya hamka
BalasHapus