Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan
masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu,
reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama.
Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.
Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak
boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus memberikan kontribusinya dengan
nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada
pemimpin.
Usaha-usaha perbaikan politik yang di lakukan Imam
al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama sekaligus
kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian
nasehat.
Imam al-Ghazali sangat berkomitmen terhadap faktor perbaikan
dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan semestinya melakukan
reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara. Mereka tidak boleh
diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Imam al-Ghazali pun telah menunjukkan dirinya sebagai ulama
yang memiliki pemikiran cemerlang, yang disegani dan diterima oleh para pejabat
negara serta para ulama lain pada zamannya.
Kepada pemimpin negara, ia memberi nasihat bagaimana cara
menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan adab untuk
kemaslaha- tan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi
ditopang dengan kekuatan syariah.
Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik
dituangkan dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada
Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan
surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Pertama, Imam al-Ghazali memprioritas kan pada kekuatan
akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan
ulama.
Dalam awal naskah nasihatnya, Imam al-Ghazali memulai dengan
kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal
pada keimanan yang benar, al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa penguasa
tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah Subhanahu Wata’ala). Dalam hal
ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi peringatan bahwa
kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah memberi amanah kepada Sultan untuk menstabilkan negeri
sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab Kitabnya, al-Ghazali menulis
tentang Ke-Esaan-Nya;tiada satu pun yang menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan
tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada masalah tashawuf dan
berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu Kota Baghdad, Imam
al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasehati
para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini
dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh
dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu. Kelompok
Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu sangat berpengaruh
terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk meredam gerakan
Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan bahwa Batiniyah
adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan mereka sebenarnya
adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih
al-Batiniyah, hal 11).
Selanjutnya di pembahasan berikutnya dalam kitab tersebut,
Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab dan etika seorang
pemimpin.Yang per tama-tama harus dipahami, menurut Imam al-Ghazali adalah
mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya ? Jika tidak
amanah.
Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh
Allah Subhanahu Wata’ala jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka,
apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak
mengetahui ha kikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim
dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata
Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu
Wata’ala.
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh
Allah Subhanahu Wata’ala sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahaya
seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah mengingatkan,
bahwa seorang pemimpin harus memper hatikan tiga perkara. Pertama, apabila
rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih
kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil. Ketiga,
laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Al-Tibr
al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).
Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa seorang
Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang Sultan juga
harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Su‘
(ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka
selalu memuji-muji raja secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah
pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai
“ulama al-akhirah“), sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan
seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena meinginginkan perbaikan dalam
diri raja, negara dan masyarakat.
Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa
memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya memiliki basis
Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha
al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan,
dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak
kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin memiliki worldview Islam yang
kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah,
menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat
pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit
hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling ber-
musuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fii
Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela berdekatan dengan rakyat kecil,
melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil,
al- Ghazali bahkan berfatwa bahwa men- datangi rakyat untuk memberi sesuap
kebutuhannya adalah lebih baik dari- pada menyibukkan diri beribadah sunnah.
Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka harus deperlakukan dengan lembut dan
penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan agar jangan sekali-kali menerima suap
dari rakyatnya dengan meninggalkan syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa
pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara
masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas,
dan tidak dzalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas,
penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam dalam menentu kan
kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata,
pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan
tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu
tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan intelektual
untuk meng atur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Imam al-Ghazali
dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampak-
nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah Swt yang sejati.
Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara
adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.
Karena asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk
aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat
direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah yang memiliki
pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak terlepas dari
pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting ka rena manusia yang beradab
(Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya
kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan menunaikan keadilah terhadap
dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus ber upaya
meningkatkan setiap aspek da lam dirinya menuju kesempurnaan manusia.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang
dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan
degradasi moral.
Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan
menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori
kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan
pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral
yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal,
kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa
dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Sumber: Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014
Sumber: Jurnal Islamia Republika hari Kamis 20/03/2014
0 komentar:
Posting Komentar