Meski kedua lembaga Kristen itu tidak merekomendasikan
partai tertentu bagi jemaatnya, namun umat Islam dapat belajar dari sejarah
politik Kristen di era efromasi dan gerakan yang mereka lakukan dalam
“berbenturan” dengan umat Islam.
Dalam kasus ini, maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) menjadi mitra strategis utama bagi Kristen. Bahwa Kristen menerapkan
strategi tebar jaring dengan “menanam” para kadernya di berbagai parpol, itu
pasti. Namun afiliasi utama Kristen tetap berada di PDIP.
Tahun 2004, misalnya, umat Islam tentu masih ingat dengan
manuver Partai Damai Sejahtera (PDS) dalam memberikan suaranya kepada Megawati
dalam Pemilu Presiden tahun 2004. Ketika akan bergabung dengan kubu
Megawati-Hasyim Muzadi, PDS mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan
SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas.
SKB 1/1969 ini berisi antara lain: setiap pendirian rumah
ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di
bawahnya yang dikuasakan untuk itu. Sedangkan UU Sistem Pendidikan Nasional
berisi antara lain kewajiban sekolah untuk menyediakan guru agama sesuai dengan
agama siswa.
Dengan dua juta suara pendukung, PDS secara tegas berusaha
menyuarakan aspirasi kelompoknya. Tuntutan PDS itu diterima PDIP sehingga para
pendeta beramai-ramai mulai berkampanye unsuk suksesnya pasangan tersebut.
Mengapa kelompok Kristen begitu alergi terhadap SKB 1/1969
tersebut? Mereka selalu beralasan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, itu adalah “bertentangan
dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk
beribadah, menafikan kebebasan beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia,
serta menumbuhkan fanatisme sempit pada umat beragama lain.”
Permintaan PDS kepada Mega untuk mencabut UU Sisdiknas juga
selaras dengan misi Kristen dalam bidang pendidikan. Mereka tahu betul PDIP
adalah partai yang paling lantang menolak UU yang menerangkan bahwa “tujuan
pendidikan adalah membuat siswa beriman” . Saat palu diketuk tahun 2003 oleh
DPR dengan musyawarah, Fraksi Partai PDIP menolak hadir.
Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menjegal RUU ini.
Dari mulai melakukan konsolidasi internal yang dipimpin langsung Megawati
hingga menyerukan partai lainnya untuk menunda pengesahan RUU Sisdiknas.
Langkah partai bermoncong putih inipun menimbulkan kecaman
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sekum MUI saat itu, Din Syamsuddin,
menyatakan klaim PDIP bahwa pengesahan RUU Sisdiknas akan menimbulkan konflik
di masyarakat tidak beralasan.
Sebab, pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas terutama pasal 13
ayat 1 A, tidak hanya menguntungkan umat Islam, tetapi juga umat lainnya karena
pengajaran agama akan dilakukan oleh guru yang seagama.
Sementara itu komisi VI DPR RI yang menangani pembahasan RUU
Sisdiknas Taufikurrahman Saleh menyatakan, masyarakat tidak perlu gelisah
dengan tertundanya pengesahan RUU Sisdiknas tersebut. Menurut Taufik, RUU
tersebut tidak menguntungkan ataupun merugikan kelompok tertentu.
Akhirnya Wakil Ketua DPR AM Fatah menegaskan bahwa RUU
Sisdiknas akan tetap disahkan walaupun diboikot oleh PDIP. Pengesahan ini harus
dilakukan guna menghindari adanya konflik-konflik konflik horizontal di tengah
masyarakat.
Saat Megawati lengser menjadi presiden, kegigihan PDIP di
front terdepan dalam membela kelompok Kristen tidaklah pudar. Saat Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Yasmin terbukti melakukan kecurangan, PDIP justru
tampil membela.
Bersama aktivis liberal, PDIP menuntut agar pemerintah
mengeluarkan izin pembangunan bagi Gereja yang telah memalsukan tanda tangan
warga itu. Tidak tanggung-tanggung, Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi),
organisasi sayap PDI-P, Hamka Haq turun gunung untuk membela gereja. Hamka Haq
mengatakan pembelaan partainya terhadap
GKI Yasmin justru dilandasi semangat menyebarkan “Islam kebangsaan”.
“Siapa yang menjaga Islam di Papua, di Nusa Tenggara Timur.
Ya, orang kuat di sana yang mungkin dari kalangan Kristiani. Kami bilang sama
mereka, gereja mereka di sini kami jaga juga, jadi tolong masjid kami juga
mereka jaga,” kata Hamka Haq.
Pernyataan Hamka Haq yang dinilai banyak kalangan sebagai
Profesor Liberal ini tentu sangat naif. Karena selama ini PDIP tidak pernah
terdengar dalam pembelaan terhadap muslim minoritas di daerah-daerah basis non
muslim. Di mana suara pembelaan PDIP terhadap umat Islam dalam raperda kota
Injil? Di mana suara PDIP dalam pembelaan umat Islam di NTT saat adzan dilarang
di Kupang Barat dan pesantren mereka nyaris dibakar? Dan di mana suara PDIP
dalam pembelaan ratusan pelajar muslimah yang dilarang memakai jilbab di Bali?
Tindakan culas dari GKI Yasmin jelas membuat masyarakat
marah dan resah. Umat Islam di Bogor tidak melarang kelompok Kristen membangun
gereja dan beribadah. Asal sudah memenuhi ketentuan syarat dan
perundang-undangan. Karena umat Islam dikenal sangat toleran.
Tak terima dicurangi, warga kemudian meneruskan kecurangan
ini ke pengadilan. Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) GKI Yasmin akhirnya dicabut, dan kasasinya ditolak Mahkamah
Agung (MA). Dan lagi-lagi PDIP tidak puas dengan keputusan itu dan mencabut
dukungannya terhadap Walikota Bogor Diani Budiarto.
0 komentar:
Posting Komentar