BARU-baru ini Ja’far Umar Thalib ditanya oleh jamaah
pengajiannya tentang hukum mengikuti pemilu. Dia menjawab bahwa demokrasi itu
haram, tidak boleh diikuti. Demokrasi juga sistem bid’ah yang diadopsi dari
para filsuf kafir. Singkat kata, jangan mengikuti even pemilu 2014 yang
sebentar lagi digelar.
Jika kesimpulan atau fatwa Ja’far Umar Thalib ini ditelan
mentah-mentah, maka konsekuensinya kaum Muslimin (Ahlus Sunnah) akan
meninggalkan tempat-tempat pengadaan pemilu, kemudian orang Syiah, Liberal, non
Muslim memenuhi TPS-TPS, sehingga akhirnya terpilihlah tokoh-tokoh politisi
yang anti Islam seperti Jalaluddin Rahmat, Ulil Abshar Abdala, dan sebagainya.
Kalau mereka terpilih kemudian membuat aneka masalah dalam kehidupan Umat, ya
jangan salahkan mereka; tapi salahkan diri sendiri yang telah diberi kesempatan
memilih orang yang benar, tapi tak dimanfaatkan.
Umat Islam harus ingat dengan baik. Terpilihnya Nuri Al
Maliki dan rezim Syiah di Irak, hal itu adalah melalui mekanisme demokrasi.
Ketika itu banyak dai-dai Islam menyerukan golput, lalu terpilihlah tokoh-tokoh
Syiah sehingga mendominasi parlemen dan pemerintahan; sampai akhirnya
pemerintahan Irak jatuh ke tangan Syiah. Kini Syiah di Indonesia, Liberal,
jaringan China, non Muslim berusaha mengambil kesempatan untuk menguasai
Indonesia. Faktanya, mereka sangat gencar mencalonkan tokoh-tokohnya, melakukan
lobi politik, melakukan politik pencitraan, dan seterusnya.
Kami akan jelaskan kembali masalah ini sebagai bagian dari
amanat yang harus disampaikan. Meskipun masih saja (banyak) yang salah paham
atau tidak mengerti.
[1]. Bagaimana hukum demokrasi menurut ajaran Islam?
Jawabnya jelas, demokrasi bukan sistem Islam, tidak dikenal dalam sejarah
Islam, dan statusnya HARAM menurut Syariat Islam. Mengapa demikian? Karena
patokan dalam sistem Islami adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan
dalam demokrasi patokannya adalah menuruti kehendak mayoritas manusia. Betapa
jauhnya perbedaan antara taat kepada Allah dan Rasul, dengan mengikuti selera
mayoritas manusia. Kedudukan demokrasi dalam hal ini sama seperti hukum makan
daging babi, seks bebas, minum khamr, ribawi, dan lainnya yang sama-sama haram.
[2]. Daging babi haram, seks bebas haram, ribawi haram,
minum khamr haram; tetapi mengapa di tengah kehidupan bangsa kita masih banyak
(atau ada) yang melakukan hal-hal haram itu? Mengapa negara tidak menetapkan
keharaman hal-hal itu secara tegas? Mengapa dan mengapa? Ya jawabnya mudah:
karena negara Indonesia ini bukan berdasarkan Syariat Islam. Sekali lagi,
sistem dan UU di negara kita ini bukan Islam. Kalau berlaku sistem Islam, tidak
perlu demokrasi-demokrasian. Kita tak butuh demokrasi di sebuah negara yang
Islami. Jawaban Ja’far Umar Thalib dan selainnya bisa dibenarkan, dalam konteks
sistem Islami. Kalau dalam sistem sekuler seperti Indonesia ini, justru
manfaatkan celah politik sekecil mungkin.
[3]. Negara seperti Indonesia ini kan bukan Islami. Sebagian
kalangan Muslim malah menyebutnya sebagai negara thaghut, kafir, syirik. Jelas
kan bahwa negara kita bukan (belum) negara Islami. Jika demikian, maka dalam
urusan-urusan yang bersifat sosial-kemasyarakat, dalam urusan birokrasi,
kepemimpinan, dan kenegaraan kita tidak bisa memaksakan Syariat Islam berlaku.
Kalau dalam urusan pribadi, keluarga, lingkup terbatas, kita bisa menerapkan
Syariat Islam; tapi dalam lingkup masyarakat luas, tidak bisa memaksakan.
Paling yang bisa kita lakukan adalah: cara politik, lobi pejabat, tekanan
publik, pembentukan opini, dan yang semisal itu.
[4]. Bisa saja sebagian Muslim ingin memaksakan agar Syariat
Islam berlaku dalam kehidupan sosial, birokrasi, politik, kepemimpinan. Tapi
hal itu akan ditolak oleh kalangan sekuler, hedonis, non Muslim yang sejak lama
memang benci Islam. Resikonya akan terjadi konflik sosial, dalam skala kecil
atau meluas. Atau paling kasarnya, akan terjadi perang antara pendukung Syariat
Islam dan para penentangnya; seperti zaman DI/TII dulu. Mungkin dalam batas
tertentu para pendukung Syariat tidak menolak jika harus menempuh cara perang
untuk memberlakukan Syariat; masalahnya, apa yang sudah Anda siapkan untuk peperangan
itu sendiri? Kalau Rasulullah SAW dan para Shahabat RA saja melakukan persiapan
luar biasa untuk peperangan ini, apakah kita cukup dengan semangat dan
keyakinan akan Nashrullah (pertolongan Allah)?
[5]. Jalan demokrasi atau pemilu adalah langkah kompromi
antara arus pendukung Syariat Islam dengan para penentangnya, daripada kita
menempuh cara perang (konflik). Kalau ada dua jalan, untuk mencapai tujuan yang
sama (penegakan Syariat Islam), satu jalan melalui perang, jalan lain melalui
kompetisi politik; maka Syariat Islam membimbing kita untuk menempuh madharat
yang lebih kecil. Kaidahnya, ikhtaru akhaffi dhararain (memilih madharat yang
lebih kecil). Hal ini pernah dilakukan Rasulullah SAW sebelum penaklukan
Makkah. Waktu itu terbuka dua jalan, secara terbuka memerangi Kota Makkah, atau
memilih perjanjian damai dengan mereka. Lalu Nabi SAW memilih jalan damai,
melalui perjanjian Hudaibiyah. Tujuannya sama, menaklukkan Makkah, tetapi
menempuh cara yang lebih sedikit madharatnya.
PERHATIAN: Kalau kita sudah sampai di titik ini, jangan
dibalikkan lagi ke tahap elementer, seperti ungkapan “demokrasi itu haram,
bid’ah, sistem kufar, syirik” dan seterusnya. Kita sudah progress pada tahap
pertengahan, jangan dimentahkan lagi dengan ungkapan-ungkapan elementer. Mohon
jangan membiasakan diri berputar-putar dalam kebingungan dan ketidak-jujuran
dalam membangun pemahaman.
[6]. Bagi kalangan yang memutlakkan haramnya pemilu
demokrasi dengan segala argumennya, ada sebuah pertanyaan mendasar yang harus
dijawab: “Bagaimana menurut Anda jika melalui proses demokrasi dapat ditetapkan
Syariat Islam sebagai hukum negara? Bagaimana jika melalui proses pemilu dapat
dipilih pemimpin sesuai Syariah? Bagaimana jika melalui demokrasi, kaum
Muslimin bisa berkesempatan mengatur negara dengan nilai-nilai Islam?” Mohon
pertanyaan ini dijawab dengan jujur. Jika mereka SETUJU dengan demokrasi
semacam itu, berarti yang jadi masalah bukan demokrasinya, tapi hasilnya. Jika
mereka TAK SETUJU, maka itu aneh. Mengapa mereka tak setuju dengan penegakan
Syariat Islam, kepemimpinan Syariah, dan kekuasaan Islam?
[7]. Mungkin mereka akan membantah dengan pernyataan
berikut: “Mana buktinya bahwa mekanisme demokrasi bisa menetapkan Syariat
Islam? Mana buktinya sistem demokrasi bisa memilih pemimpin sesuai Syariat?
Mana buktinya bahwa demokrasi bisa menghasilkan dominasi politik Islam?” Jika
demikian pertanyaannya, maka kami bisa berikan sedikit data-data untuk
dipikirkan. Pemilu demokrasi di Pakistan pernah berhasil mengangkat Nawaz
Syarif sebagai PM, lalu mereka memberlakukan Syariat Islam; meskipun usia
pemberlakuan itu sebentar, sebelum Nawaz Syarif disingkirkan. Sistem demokrasi
di Pakistan pernah mem-back up kepemimpinan Presiden Ziaul Haq rahimahullah
yang Islami. Pemilu demokrasi di Kelantan Malaysia berhasil memantapkan negara
bagian itu dengan UU Syariah. Pemilu demokrasi di Mesir berhasil memperbaiki
Konstitusi sehingga lebih Islami, dan berhasil mengangkat Presiden Mursi yang
hafal Al Qur’an sebagai pemimpin Mesir. Begitu juga, sistem demokrasi di Sudan
menjadi jalan dominasi kaum Muslimin di sana. Termasuk demokrasi di Turki
berhasil memperbaiki kehidupan rakyat Turki dan adopsi nilai-nilai Islam
(seperti busana Muslim dan jilbab) ke dalam kultur sekuler Turki. Bahkan
demokrasi di Palestina mengukuhkan Hamas sebagai dominator di wilayah Ghaza.
Ini adalah kenyataan-kenyataan yang ada.
[8]. Mungkin masih ada keraguan dengan pertanyaan: “Tapi
faktanya Ikhwanul Muslimin di Mesir dibantai, Mursi digulingkan, FIS di
Aljazair dibantai sampai jatuh korban puluhan ribu Muslim?” Jika situasi Mesir
dan Aljazair dijadikan ukuran, itu konteksnya berbeda. Di sana yang terjadi
adalah kezhaliman, kelicikan, kejahatan terbuka terhadap mekanisme kompetisi
politik yang jujur dan damai. Sebagian orang menggunakan cara kekerasan untuk
menghancurkan kemenangan yang diperoleh melalui kompetisi politik yang fair.
Jadi dasar masalahnya bukan di kompetisinya itu sendiri. Tapi pada orang yang
ngeyel dan tak mau kalah secara sportif, lalu memakai cara-cara kekerasan. Logikanya
begini: Ada perlombaan lari diikuti 10 orang pelari. Dari perlombaan itu
diperoleh seorang pemenang sebagai juara. Dia dapat piala. Tapi ada yang tak
terima. Mereka menghajar sang juara sampai babak belur, lalu piala di tangannya
diberikan kepada pelari lain yang kalah. Yang salah disini kan kezhalimannya,
bukan kompetisi larinya.
[9]. Kalau kami umpamakan, pemilu demokrasi itu seperti
bunga bank. Para ulama Muslim kontemporer sudah sepakat bahwa bunga bank itu
haram, karena termasuk ribawi. Tapi pernah diajukan pertanyaan oleh sebagian
orang kaya Muslim yang menyimpan uangnya di bank-bank Swiss. Mereka bertanya:
“Bagaimana harus kami gunakan bunga bank ini? Jika tidak kami ambil, ia akan
dikumpulkan untuk lembaga-lembaga Nashrani, lalu dipakai untuk membiayai
kegiatan Kristenisasi. Kalau kami ambil, ia haram hukumnya sesuai fatwa ulama.
Apa yang harus kami lakukan?” Akhirnya diberikan fatwa, bahwa bunga bank itu
boleh diambil, lalu disedekahkan untuk pembangunan fasilitas sosial seperti
jalan raya, jembatan, penerangan jalan, dan lainnya yang bukan bersifat
konsumsi. Nah dalam konteks ini, situasinya mirip dengan pemilu demokrasi.
[10]. Yakin, haqqul yakin, bahwa demokrasi bukanlah sistem
Islam, bukanlah cara Islami. Singkat kata, ia haram. Tapi kalau hak suara
demokrasi kita tidak digunakan untuk mendukung missi perjuangan Islam, ia akan
digunakan oleh anasir-anasir anti Islam untuk mencapai kekuasaan, mencapai
parlemen, masuk ke proses legislasi UU, untuk mendominasi kepemimpinan
birokrasi, dan lainnya. Apa Anda mau hak politik kita diambil kaum anti Islam?
Atau dengan kata lain, apa Anda mau bunga bank uang Anda dikumpulkan
lembaga-lembaga Zending untuk mengkristenkan Umat manusia? Na’udzubillah wa
na’udzubillah min dzalik.
[11]. Terakhir, ini penting disampaikan, bahwa mekanisme
demokrasi bukan satu-satunya jalan politik yang tersedia bagi Ummat ini. Masih
ada jalan-jalan lain yang terbuka dan perlu terus dikembangkan, sesuai daya dan
kesempatan. Jadi tulisan ini bukan bermaksud menafikan jalan-jalan perjuangan
lain. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Demikianlah, bahwa asal hukum pemilu demokrasi adalah haram,
bertentangan dengan pokok ajaran Islam. Tapi dalam situasi darurat, di sebuah
negara yang tidak berhukum dengan Syariat Islam, hak suara kita dalam pemilu
demokrasi perlu dimanfaatkan, untuk mendukung missi perjuangan Islam. Jangan
sampai yang menjadi pemimpin, anggota parlemen, perumus UU, pemimpin birokrasi,
dan sebagainya adalah manusia-manusia hedonis, anti Islam, atau sesat akidah.
Jika mereka yang terpilih, tentu akan melahirkan banyak musibah dan fitnah bagi
Umat ini. Paling kasarnya, sejelek-jeleknya politisi Muslim, dia masih punya
sisa-sisa loyalitas kepada agama dan Umatnya. Daripada yang terpilih adalah
politisi anti Islam. Nas’alullah al ‘afiyah.
Sumber: Islam Pos
Sumber: Islam Pos
0 komentar:
Posting Komentar