Prof. Dr. Quraish Shihab, pernah membela Syi’ah dengan
menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini
diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.
Namun, pembelaan Prof. Dr. Quraish Shihab tersebut mendapat
kritikan tajam dari Tim Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri. Tim
penulis ini menulis buku sanggahan pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah yang
berjudul “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish
Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada September 2007.
Salah satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah,
bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. “Kesamaan-kesamaan yang
terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan
perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana
pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan
dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun
Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang
menegaskan, dalam sambutannya atas buku yang ditulis tim penulis tersebut
mengatakan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan
menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian
sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan
kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung
pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Berikut ini beberapa topik yang dibahas oleh Prof. Dr.
Quraish Shihab dalam bukunya dan dikritisi oleh Tim Penulis Buku Pustaka Pondok
Pesantren Sidogiri dalam buku sanggahannya.
1. Tentang Abdullah bin Saba’
Quraish Shihab:
“Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia
(Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan.
Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan
ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.”
(hal. 65).
Pondok Pesantren Sidogiri:
Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan
Abdullah bin Saba’. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum
Syiah juga mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’.
Sa’ad Al Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya, malah
menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan
sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, Al Maqalat wa Al Firaq, (hal. 20), Al Qummi
menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide untuk
mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi
lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a.
Kisah tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru
besar Syiah, An-Nukhbati dan Al Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu
menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk
Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya
Rasulullah saw sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa
a.s. Kisah Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya,
Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2. Tentang hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu
Quraish Shihab:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang
disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula
kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu
keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan
kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi
saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi,
Aisyah r.a.” (hal. 160).
Quraish Shihab:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar
hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari,
misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far Ash Shadiq, Imam ke-6
Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh
kelompok Syiah.” (hal. 150).
Pondok Pesantren Sidogiri:
“Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat
pemuka hadits sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa
pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab
sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka
sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan
terhadap Abu Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah
dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk
membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut,
diantaranya adalah Al Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min Al Buhtan yang
ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al A’zhami dalam Abu
Hurairah fi Dhau’i Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi Al
Mizan, Muhammad ?Ajjaj Al Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat Al Islam
dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa
Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau
bukan yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah
orang yang memiliki hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.”
(hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka
Pondok Pesantren Sidogiri menegaskan: “Dengan demikian, maka keagungan,
ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan
karena itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi.
Yang perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti
ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak
riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan
karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah
merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab
tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak
memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah
mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi
saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di
bidangnya (hadits dan sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang
hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah,
Adhwa’ ‘ala Sunnah Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan
reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul
akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah
r.a., Dr. Al A’zhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya
diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits
yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam
Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali
as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu
kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan bagian
dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh
Muhammad Husain Kasyif Al Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah
satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh Quraish Shihab:
“Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari
jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam
pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk
sekalipun.” (hal. 313).
Pondok Pesantren Sidogiri juga menjawab tuduhan bahwa Ahlus
Sunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam
Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak
didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah,
riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan,
terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada
Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau
membenci mereka. (hal. 324-330).
3. Tentang Pengkafiran Ahlusunnah:
Quraish Shihab:
“Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang
terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut
aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh
Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi
Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu
kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu
mereka ikuti.” (hal. 120).
Pondok Pesantren Sidogiri:
“Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas,
seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya
(tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa
faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab?
Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah,
maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui
pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah.
Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu
mereka.
Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang
Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal,
kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka,
Muhammad Al Uzhma Husain Fadhlullah, dalam Al Masa’il Fiqhiyyah, ditanya:
“Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan
kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat
kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan
dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa
“Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah
dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan
barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal.
350-351).
***
Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang
dirujuk dalam buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri ini. Karena itu, mereka
juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah
hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. Pondok Pesantren Sidogiri juga
mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat
Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam
kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim,
sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri ini memang banyak memuat
fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun kontemporer. Terhadap
Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ?ala
as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka
mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hukum-hukum agama
mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan
Ibnu Hanbal.” (hal. 366)
Referensi: Fimadani